Perkembangan pemahaman patofisiologi dan hasil-hasil uji klinis obat-obatan terbaru untuk hepatitis B telah banyak mengubah paradigma dan hasil pengobatan kondisi ini. Seringkali panduan klinis yang dikeluarkan oleh badan-badan ahli membuat klinisi menjadi kewalahan memahami dan mengimplementasikan dalam praktik sehari-hari. Baru-baru ini, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) mengeluarkan panduan klinis terbaru untuk menyesuaikan terhadap temuan penelitian dasar dan uji klinik terkini, berikut adalah pembahasan mengenai diagnosis dan tatalaksana hepatitis B sesuai panduan-panduan klinis dari badan-badan dunia untuk dapat diterapkan pada praktik klinis sehari-hari.
Tujuan pengobatan hepatitis B adalah untuk mencegah progresivitas penyakit, terutama sirosis, gagal hati dan karsinoma hepatoselular (HCC). Beberapa faktor risiko progresivitas penyakit hati kronik diantaranya, adalah peningkatan kadar HBV DNA menetap, peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dan adanya mutasi inti dan pra-inti yang seringkali dijumpai pada genotipe C dan D. Terapi sinergistik untuk menekan beban viral dan memperbaiki respons imun pasien dibutuhkan untuk mencapai prognosis yang terbaik. Pencegahan sirosis dan HCC seringkali menggunakan terapi kombinasi antiviral dengan interferon pegylated (PEG-IFN) atau analog nukleosida.
Infeksi hepatitis B akut bisa sembuh alamiah atau menjadi kronik, sampai saat ini tidak ada terapi spesifik untuk individu dengan infeksi akut. Terapi pada hepatitis B akut bersifat suportif, sedangkan terapi spesifik pada saat ini ditujukan untuk pasien-pasien dengan bukti hepatitis B kronik aktif. Beberapa tanda yang dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya infeksi hepatitis B kronik aktif adalah peningkatan kadar ALT, HBV DNA positif atau HbeAg negatif. Berikut poin penting dari panduan klinis AASLD 2016 dan 2018 untuk membantu menentukan arah terapi pada penderita hepatitis B kronik aktif.
Evaluasi rutin pasien HbsAg positif
Terlepas dari anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap, termasuk evaluasi faktor risiko pasien, pemeriksaan laboratorium rutin seperti ALT, AST, Bilirubin, ALP dan albumin penting untuk dilakukan pada semua penderita hepatitis B kronik. Penanda aktivitas virus seperti HBeAg dan HBV DNA juga penting untuk dilakukan, juga dipertimbangkan pemeriksaan anti-HAV IgG untuk vaksinasi. Pemeriksaan pencitraan seperti USG abdomen dan elastograsi transien (mis. FibroScan) dapat dilakukan untuk menentukan gangguan struktural hati, demikian juga sistem skoring penggantinya seperti APRI, FIB-4 atau FibroTest. Pertimbangkan juga pemeriksaan AFP untuk skrining HCC dan GGT untuk menentukan apakah ada kolestasis. Pasien juga perlu dilakukan evaluasi terhadap genotipe hepatitis B untuk menentukan pengobatan antiviral yang sesuai dan apakah ada koinfeksi hepatitis C juga perlu menjadi pertimbangan.
Pengobatan antiviral untuk hepatitis B
Saat ini tujuan pengobatan hepatitis B adalah mencegah komplikasi, seperti disebutkan di atas, ditambah dengan konversi antigen permukaan hepatitis B (HBeAg) dan supresi HBV DNA menetap. Kesembuhan virologis melalui eradikasi saat ini belum dapat dicapai dengan obat-obatan yang tersedia. Terapi antiviral diindikasikan untuk individu dengan tanda infeksi hepatitis B kronik fase imuno-aktif (misal ALT >2 kali batas atas normal ATAU gambaran histologik buruk ATAU HBeAg negatif dengan HBV DNA >2.000 IU/mL ATAU HBeAg positif dengan HBV DNA >20.000 IU/mL). Saat ini direkomendasikan pemberian PEG-IFN, entecavir atau tenofovir. Untuk pasien fase imunotoleran saat ini tidak direkomendasikan untuk diberikan terapi antiviral. Pada pasien-pasien imunotoleran disarankan untuk dilakukan evaluasi ALT tiap 6 bulan sekali untuk mendeteksi adanya perubahan dari fase imunotoleran menjadi imuno-aktif.
Tabel 1. Pengobatan antiviral untuk hepatitis B kronik di Indonesia
No | Nama Obat | Dosis | Kategori Kehamilan | Pemantauan |
1 | PEG-IFN-alpha-2a (Pegasys®, dewasa) dan PEG-IFN-alpha-2b (PEG-Intron®, anak) | Dewasa 180 mcg per mingguAnak 6 jt IU/m2 tiga kali seminggu | C | CBC/bulan, TSH/3 bulan, evaluasi komplikasi autoimun, iskemik, neuropsikiatrik dan infeksi |
2 | Entecavir (Baraclude®) | Dewasa 0,5 mg (lamivudin naif) atau 1 mg (riw lamivudin)Anak sesuai berat badan, di atas 30 kg dosis dewasa | C | Pantau kadar asam laktat dan tes HIV sebelum pengobatan |
3 | Tenofovir (Viread®) | Dewasa 25mgAnak tidak ada dosis | Tidak ada data | Pantau kadar asam laktat, periksa HIV sebelum pengobatan. Evaluasi fungsi ginjal, fosfor dan urinalisis. |
Evaluasi pengobatan antiviral hepatitis B
Setelah fase konsolidasi pengobatan, lebih kurang 12 bulan dengan kadar ALT normal dan HBV DNA tidak terdeteksi, pertimbangan penghentian terapi dapat dilakukan pada pasien HBeAg positif non sirotik yang mengalami serokonversi menjadi HBeAg negatif. Apabila terapi antiviral dihentikan, pantau pasien setiap 3 bulan selama minimal 1 tahun untuk mendeteksi rekurensi viremia, peningkatan ALT, serokonversi dan dekompensasi klinis. Pada pasien dengan sirosis, tidak disarankan pengehentian terapi antiretroviral, dikarenakan tingginya risiko dekompensasi dan gagal hati apabila terjadi relaps.
Pada pasien dengan infeksi kronik fase imuno-aktif HBeAg negatif, AASLD menyarankan terapi antiviral dirteruskan, kecuali ada alasan kuat untuk menghentikan terapi, biasanya dengan pemantauan dan evaluasi ketat oleh seorang hepatologist. Pada pasien hepatitis B kronik inaktif non sirotik, misal dengan ALT, HBeAg negatif dan HBV DNA <2000 U/mL, tidak disarankan pemberian terapi antiviral. Namun pada pasien hepatitis B kronik inaktif dengan sirosis, AASLD menyarankan pemberian terapi antiviral untu menurunkan risiko dekompensasi.
Kesimpulan
Perkembangan terakhir untuk pengobatan hepatitis B, meskipun belum sedramatis hepatitis C, memberikan hasil yang menggembirakan. Perubahan terus menerus dari panduan klinis mengharuskan klinisi untuk terus memperbarui pengetahuannya mengenai tatalaksana hepatitis B terkini. Saat ini terapi direkomendasikan dengan PEG-IFN, entecavir dan tenofovir untuk pasien hepatitis B kronik fase imuno-aktif. Penghentian terapi antiviral memerlukan evaluasi menyeluruh dari seorang hepatologis dan pada sebagian besar pasien terapi dilanjutkan seumur hidup. MD
Referensi
Terrault NA, et al. Update on Prevention, Diagnosis, and Treatment of Chronic Hepatitis B: AASLD 2018 Hepatitis B GuidanceHEPATOLOGY, VOL. 67, NO. 4, 2018.